“Peradilan
Rakyat”
I
Gusti Ngurah Putu Wijaya (Putu Wijaya)
Seorang pengacara muda yang
cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati
oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak
sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari
sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang
sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang
dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi
rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu
tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun.
"Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan
sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda
mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga
pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku
pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan
penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan
berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika
masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh
kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu
diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda.
Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus
di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah
berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga
tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan
menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum.
Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti
macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk
menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu
besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan
koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu
kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah
tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak
keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga
adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut
dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh
sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak
lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi
dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa
lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin
mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini.
Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang
sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke
rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup
adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku
tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar
menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah
teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada
kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela
yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang
diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku
selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada
negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi
mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara
terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ
aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan
investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku,
negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan
dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara
tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak
mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan
mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang
telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan
aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang. Negara harusnya percaya
bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih,
sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti
sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia
melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari
bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat
atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku,
bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat
supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?"
potong pengacara tua itu tiba-tiba. Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap
pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda
tahu?"
Pengacara tua mengelus
jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja,
tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas
kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik
napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab
aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa
pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela.
Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk
membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan
yang seadil-adilnya."
Pengacara tua
mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu
tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah
mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia
menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah
benar?"
Orang tua itu kembali mengelus
janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan
kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak
tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran
pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam
profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik.
Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak
peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional
kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari
praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling
tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau
tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali
tidak!"
"Bukan juga karena
uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan
membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di
dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih
benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi
kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya
untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku
menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku
salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan
tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan
kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan
jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat
tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan
menang."
"Perkaranya saja belum
mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku
hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum
mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu
terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa
kecil.
"Itu pujian atau
peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur
saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum
dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima
membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti
takut?!"
"Mereka tidak mengancam
kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu
besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan
angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak
dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak
profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari
uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia
sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia
sampai menang?"
"Negara akan mendapat
pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan
memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak
menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan
memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia
merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda
hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi
lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu
disogok."
"Betul. Ia minta tolong,
tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa
harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu
perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang
penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu,
bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat.
Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah
memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua
rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus
mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin
menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat
terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat
tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan
kesakitan.
"Pulanglah sekarang.
Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan
matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita,
kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara
muda.
"Maaf, saya kira pertemuan
harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat
malam."
Entah karena luluh oleh senyum
di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu
tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala
hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar
suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda,
bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan
lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan
itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh
rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan
semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau
tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara
muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi
negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu
tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api
semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat
pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu
dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan
dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya
baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus
mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di
kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita
keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk,
air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang
sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai
profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka
pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah
sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan
saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah
kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan
sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut
peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
Unsur
Intrinsik yang terdapat dalam cerpen ini adalah :
1. Tema
Sistem
peradilan yang ada di masyarakat
Alasan
:
karena
menceritakn tentang bagaimana cara masyarakat menyikapi masalah hukum yang
terjadi dalam kehidupan bernegara.
2. Amanat
Hikmah
yang dapat diambil dari cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya ini, yaitu
dalam mengambil sebuah keputusan, seharusnya kita menggunakan pikiran serta
perasaan, sehingga keputusan yang kita ambil tersebut tidak merugikan diri
sendiri dan orang lain. Suatu keputusan harus menggunakan lebih dari satu
perspektif sebagai perbandingan agar keputusan yang kita ambil adalah keptusan
yang paling tepat.
Alasan
:
Sebagai
contoh, Si pengacara muda memutuskan untuk menjadi kuasa hukum dari seorang
penjahat besar, hanya dengan menggunakan cara pandangnya sebagai pengacara
professional, yang mengiyakan ketika seseorang datang dan memintanya untuk jadi
pembela, termasuk si penjahat besar. Dia tidak mempertimbangkan posisinya
diluar dari profesinya, apabila membela kasus seorang penjahat besar yang sudah
dibenci oleh masyarakat dan sudah pasti bersalah. Akibatnya si pengacara muda
harus menjadi korban “Peradilan Rakyat”, yaitu diculik dan disiksa, kemudian
dikembalikan sesudah jadi jadi mayat oleh rakyat yang marah atas kemenangan si
penjahat di Peradilan Negara.
3. Latar
Latar
tempat : di kantor
Alasan
:
Dapat dibuktikan dengan 2 kutipan berikut, “Seorang pengacara muda yang cemerlang
mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para
penegak hukum.”
“Pengacara
tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap
putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.”
Latar
waktu : ketika pengacara muda
berkunjung kekantor ayahnya
Alasan
:
“Seorang pengacara muda yang
cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati
oleh para penegak hukum.”
Latar
suasana : suasana santai tapi serius
Alasan
:
Dapat
dibuktikan dengan 2 kutipan berikut,
"Aku datang kemari ingin
mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah.
Berbicaralah sebebas-bebasnya."
4. Sudut pandang
Cerpen
ini menggunakan sudut pandang orang kedua, dimana penulis tidak berperan
sebagai tokoh dalam cerita.
Alasan
:
Penulis
menggunakan kata “ia” atau “dia”, dan menyebut nama tokohnya dalam bercerita.
Contohnya pada kutipan berikut yang bisa ditemukan dalam cerpen : Pengacara tua yang bercambang dan jenggot
memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu
menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
5. Tokoh
a.
Tokoh utama :
Pengacara muda (anak) dan pengacara senior (ayah)
b.
Tokoh figuran :
Sekretaris pengacara senior, penjahat besar
c.
Pembantu :
Rakyat, keluarga penjahat besar
6. Watak
· Pengacara
Muda (anak): merupakan seorang pemuda yang kritis, tekun, bersemangat, cerdas
dan profesional terhadap pekerjaannya sebagai seorang pengacara.
Alasan
:
Berdasarkan
kutipan berikut : “Aku tidak datang untuk
menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu
besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan
koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu
kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah
tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak
keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga
adalah keadilan itu sendiri” , menunjukkan bahwa pengacara muda tersebut
cerdas, dan berpikir kritis karena ia mencermati keadaan dan situasi.
Dan
ia merupakan seorang pengacara muda yang bersikap profesional , karena ia siap
menjadi kuasa hukum si penjahat besar, bukan karena ditunjuk oleh Negara atau
karena uang, tapi karena si penjahat memintanya untuk menjadi pembela di kasus
tersebut.
Dan
semangat si pengacara muda tergambar pada keyakinannya untuk memenangkan kasus
tersebut.
· Pengacara
Senior (ayah): merupakan seorang pejuang keadilan yang sangat cerdas, Memiliki
sifat bijaksana, penyayang,.
Alasan
:
ia
selalu memenangkan setiap kasus yang ditanganinya. Pendapat-pendapatnya
berdasarkan lebih dari satu perspektif, ini menunjukkan kebijaksanaannya. Dan
sifat penyanyangnya tergambar pada : "Aku
terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang
putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu
bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari
ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, . . .
· Sekretaris : perhatian, baik, cantik jelita.
Alasan
:
Hal
tersebut berdasarkan kutipan :
Sekretarisnya yang jelita,
kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara
muda.
“Maaf, saya kira pertemuan
harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam.”
· Penjahat
Besar : tidak bertanggung jawab, merupakan tokoh jahat dalam cerita.
Alasan
:
Dia
melakukan kejahatan, tapi tidak mengakui dan bertanggung jawab atas kejahatan
tersebut.
7. Alur
Cerpen
ini menggunakan alur maju
Alasan
:
karena
menceritakan dari ketika pengacara muda meminta pendapat pengacara senior ,
hingga ia memenangkan kasus dan menjadi korban peradilan rakyat.
8. Gaya bahasa
Dalam
cerpen ini, Putu Wijaya menggunakan beberapa majas, yaitu
· Majas
perumpamaan
Alasan
:
majas
ini dapat dilihat pada kalimat yang diucapkan pengacara senior, ‘Mereka menyebutku Singa Lapar’
· Majas
metafora
Alasan
:
Terdapat
pada : Dengan gemilang dan mudah ia
mempencundangi negara dipengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu.
· Alegori
Alasan
:
Terdapat
pada : ‘Tidak seperti para pengacara
sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan
cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih
buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan
kebenaran yang dulu diberhalakannya.’
· Majas
hiperbola
Alasan
:
Terdapat
pada kutipan berikut :
Tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang, dicabik-cabik korupsi ini.
· Majas
Simile
Alasan
:
Terdapat
pada :
“Jangan membunuh diri dengan
diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku,
mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu
sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tambahkan komentar sesuai hati nurani anda, dan tidak mengandung SARA